NAMA : AZMI RAIS (141350055)
MAKALAH
“Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik”
Disusun untuk
memenuhi tugas mandiri mata kuliah
Yang diampu oleh : Srikandi Octaviani M.Pd.
Disusun oleh :
Nama :
Azmi Rais
Npm :
141350055
Kelas :
A
Semester : III (tiga)
Program studi : PGSD
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPBLIK INDONESIA METRO
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Makna Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
2.2
karakteristik perkembangan Moral
2.3
Karakteristik Perkembangan Spiritual
2.4
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
2.5
Proses Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
BAB III PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Analisis
1.3 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan moral merupakan
proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota masyarakat dalam
berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung sejak masa bayi
hingga akhir hayat. Perkembangan itu sendiri merupakan proses perubahan
kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi organ-organ jasmaniah, dan bukan
pada organ jasmani tersebut, sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada
kemampuan organ psikologis (Purwati dan Nurwidodo.2000:22).
Perkembangan moral hampir dapat
dipastikan merupakan perkembangan sosial, sebab perilaku moral pada umumnya
merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya
akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran
norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan.
Seperti dalam proses perkembangan
yang lannya, proses perkembangan moral selalu berkaitan dengan proses belajar.
Belajar itu sendiri memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang belum
terpenuhi dengan kompetensi-kompetensi yang dimiliki (Mudjiman.2008:73).
Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial sangat bergantung pada
kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik dilingkungan sekolah,
keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini bermakna bahwa proses
belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial
yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma
moral yang berlaku dalam masyarakat.
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan
makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan
transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara
intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan sepiritual merupakan sumber
dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan
secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam
kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa
manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan
mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara
kreatif karya-karya baru
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas
akan dibahas mengenai perkembangan moral dan spiritual pesertan didik , terdapat beberapa masalah antara lain :
- Apakah perkembangan moral dan spiritual terhadap peserta didik?
- Bagaimana karakteristik perkemabangan moral dan spiritual terhadap peserta didik?
- Bagaiman Perkembangan Moral Dan Spiritual Terhadap Pendidikan?
- Apa yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik?
- Apa saja tahapan perkembangan moral dan spiritual peserta didik?
1.3
Tujuan
Dalam pokok ini
dibahas tentang tujuan dan fungsi perkembangan biologis, motorik, kognitif dan
sosioemosional pada masa bayi, yang bertujuan untuk:
- Untuk memahami perkembangan moral dan spiritual terhadap peserta didik,
- Untuk mengetahui karakteristik perkemabangan moral dan spiritual pada masa dini, remaja, dan dewasa,
- Untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik,
- Untuk mengetahui tahapan perkembangan moral dan spiritual peserta didik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Makna Perkembangan Moral dan
Spiritual Peserta Didik
A. Makna
Perkembangan Moral Peserta Didik
Perkembangan sosial hampir dapat
dipastikan merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya
merupakan unsur fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya
akan berperilaku sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran
norma perilaku moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan. Perkembangan moral merupakan suatu kebutuhan yang
penting bagi remaja dalam menemukan identitas dirinya, menghubungkan sikap
personal yang harmonis, dan menghindari konflik-konflik peran yang terjadi
selama transisi, sehingga perkembangan moral dapat di artikan sebagai
perkembangan yang berkaitan dengan aturaan dan konvensi mengenai apa yang harus
dilakukan oleh manusia dalam interaksi dengan orang lain (desmita,2009:258).
Dalam sistem moralitas, baik dan
buruk dijabarkan secara kronologis mulai yang paling abstrak hingga yang lebih
operasional. Nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai
merupakan suatu perangkat keyakinan atupun perasaan yang diyakini sebagai suatu
identitas yang memberikan corak kusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterikatan dan prilaku (syahidin dkk.2009:239). Moral dapat berbentuk formula,
peraturan, atau ketentuan pelaksanaan, misalnya saja etika belajar, etika
mengajar dan lain sebagainya. Dilihat dari sumber nilai ataupun moral dapat
diambil dari wahyu ilahiataupun dari budaya. Dengan demikian dapat
diartikanbahwa, moral sama saja dengan akhlak manakala sumber atau produk
budayasesuai dengan prinsip-prinsip akhlak (syahidin dkk.2009:239).
B.
Makna Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Echoks dan Shadily dalam Desmiata
(2009:264) berpendapat bahwa, kata sepiritual berasal dari bahasa Inggris yaitu
”spirituality”. Kata dasarnya “spirit” yang berarti roh, jiwaa,
semangat. Sedangkan Ingersoll dalam Desmiata (2009:264) berpendapat bahwa, kata
sepiritual berasal dari kata latin “spiritus” yang berarti, luas atu
dalam (breath), ketegu han hati atau keyakinan (caorage), energy
atau semangat (vigor), dan kehidupan. Kata sifat spiritual berasal dari
kata latin spiritualis yang berarti ”of the spirit” (kerohanian)
Menurut Aliah dan purwakania
hasan dalam Desmita (2009:265) menyatakan spiritualitas memiliki ruang lingkup
dan makna pribadi yang luas, dengan kata kunci sebagai berikut :
a) Meaning (makna). Makna
merupkan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan manusia, merasakan situasi,
memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
b) Values (nilai-nilai).
Nilai-nilai adalah kpercayaa, standard an etika yang dihargai.
c) Transcendence
(transendensensi). Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan
terhadap dimensi transendental bagi kehidupan di atas diri seseorang.
d) Connecting (bersambung).
Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri,
orang lain, tuhan dan alam.
e) Becoming (menjadi).
Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman,
termasuk siapa seseorang dan bagai mana seseorang mengetahui.
Dari kutipan diatas dapat
diartikan bahwa perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki
semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang
lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam
kehidupan diatas diri seseorang. Sedangkan pendapat Fowler dalam Desmita
(2009:279) menyebut spiritual atau kepercayaan suatu yang universal, ciri dari
seluruh hidup, tindakan pengertian diri semua manusia, entah mereka menyatakan
diri sebagai manusia yang percaya dan orang yang berkeagamaan atau sebagai
orang yang tidak percaya sebagai apapun.
2.2
karakteristik perkembangan Moral
Lawrence Kohlberg
mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan kedalam enam tahap
perkembangan moral yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi kedalam tiga
tingkatan: prakonfensional, konvensional, dan pascakonvensional. Karakteristik
untuk masing-masing tahapan perkembangan moral yang dimaksud disajikan dalam
tabel berikut ini.
No
|
Tingkat
|
Umur
|
Nama
|
Karakteristik
|
1
|
Tingkat 1
|
0-9 thn
|
Prakonvensional
|
|
Tahap 1
|
Moralitas
heteronomi (orientasi kepatuhan dan hukuman)
|
Melekat pada
aturan
|
||
Tahap 2
|
Individualisme/
instrumentalisme
(orientasi
minat pribadi)
|
Kepentingan
nyata individu. Menghargai kepentingan oranglain
|
||
2
|
Tingkat 2
|
9-15 thn
|
Konvensional
|
|
Tahap 3
|
Reksa
interpersonal
(orientasi
keserasian interpersonal dan konformitas (sikap anak baik)).
|
Mengharapkan
hidup yang terlihat baik oleh orang lain dan kemudian telah menganggap
dirinya baik.
|
||
Tahap 4
|
Sistem sosial
dan hati nurani (orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (moralitas
hukum dan aturan))
|
Memenuhi
tugas sosial untuk menjaga sistem sosial yang berlangsung.
|
||
3.
|
Tingkat 3
|
Diatas 15 thn
|
Pascakonvensional
|
|
Tahap 5
|
Kontrak
sosial
|
Relatif
menjungjung tinggi aturan dalam memihak kepantingan dan kesejahteraan untuk
semua.
|
||
Tahap 6
|
Prinsip etika universal
|
Prinsip etis yang dipilih sendiri, bahkan ketika
ia bertentangan dengan hukum
|
Perkembangan moral menurut Piaget terjadi dalam dua
tahapan yang jelas. Tahap pertama disebut “tahap realisme moral” atau
“moralitas oleh pembatasan” dan tahap kedua disebut “tahap
moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerjasama atau hubungan timbal balik”.
Pada tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh
ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka
menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa
dan anak mengikuti peraturan yang diberikan oleh mereka tanpa mempertanyakan
kebenarannya.
Pada tahap kedua, anaka menilai perilaku atas dasar
tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun
dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebuh. Anak mulai mempertimbangkan
keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral.
2.3
Karakteristik
Perkembangan Spiritual
A.
Karakteristik
perkembangan spiritualitas anak usia sekolah
Tahap mythic-literal faith, yang
dimulai usia 7-11 tahun. Menurut Fowler dalam desmita (2009:281), berpendapat
bahwa tahap ini, sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya, anak mulai
berfikir secara logis dan mengatur dunia dengan katagori-katagori baru. Pada tahap
ini anak secara sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya,
dan secara khusus menemukan koherensi serta makna pada bentuk-bentuk naratif.
Sebagai anak yang tengah berada
dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak usia sekolah dasar akan
memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal
ini juga berpengaruh terhadap pemahaman mengenai konsep-konsep keagamaan.
Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan yang bersifat abstrak yang tadinya
dipahami secara konkret, seperti tuhan itu satu,tuhan itu amat dekat, tuhan ada
di mana-mana, mulai dapat di pahami secara abstrak.
Oleh sebab itu, meskipun pada
masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun
karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembangan
kognitifnya. Mungkin mereka mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama
mereka sendiri. Menurut Muhammad Idrus dalam Desmita (2009:283), pola
kepercayaan yang dibangun remaja bersifat konvensional, sebab secara kognitif,
efektif dan sosial, remaja mulai menyesuaikan diri dengan orang lain yang
berarti baginya (significant others) dan dengan mayoritas lainya.
B.
Karakteristik perkembangan spiritualitas remaja
Dibandingkan dengan masa awal
anak-anak misalnya keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan
yang cukup berarti. Kalau pada awal masa anak-anak ketika mereka baru memiliki
kemampuan berfikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di
awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang
lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman terhadap
keyakinan agama sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Tabel Pengembangan Moral dan
Nilai-Nilai Agama
Kompetensi Dasar
|
Hasil Belajar
|
Indikator
|
Peserta didik mampu
melakukan ibadah, terbiasa mengikuti aturan dan dapat hidup bersih dan mulai belajar membedakan benar dan salah, terbiasa berperilaku terpuji |
Terbiasa berperilaku sopan
santun |
|
Membedakan perbuatan
yang benar dan salah |
|
|
Terbiasa untuk disiplin
|
|
|
Terbiasa bersikap/
berperilaku Saling hormat menghormati |
|
|
Terbiasa bersikap ramah
|
|
|
Menunjukkan sikap
kerjasama dan persatuan |
|
|
Terbiasa menunjukkan
kepedulian |
|
|
Terbiasa menjaga kebersihan
diri dan mengurus dirinya sendiri |
|
|
Terbiasa menjaga lingkungan
|
|
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi
nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya
sebagai model.
Bagi para ahli
psikoanalisis, perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi
norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik
biologis. Menurut psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego
yang dibentuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau
perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya orang tua) sedemikian rupa,
sehingga akhirnya terpencar dari dalam diri sendiri.
Teori-teori
lain yang non psikoanalisi beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan
satu-satunya sarana pembentukan moral. Para sosiolog beranggapan bahwa
masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral.
Dalam usaha
membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup terterntu, Banyak
factor yang mempengaruhi perkembangan moral peserta didik, diantaranya yaitu:
1) Faktor tingkat
harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2) Faktor seberapa
banyak model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang
terkenal dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai
gambaran-gambaran ideal.
3) Faktor
lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala segala unsur lingkungan
social yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsure lingkungan
berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai
perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4) Faktor
selanjutnya yang memengaruhi perkembangan moral adalah tingkat penalaran.
Perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.
5) Faktor
Interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan
menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan
dalam pergaulan dengan orang lain.
2.5
Perkembangan Moral
Dan Spiritual Terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan moral dan
spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta
didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat
menjadi manusia yang moralis dan religious.Sejatinya pendidikan tidak boleh
menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan
pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata.
Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang
dapat membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat
(Elmubarok,2008:30).
1.
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah
dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik yaitu sebagai
berikut.Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum
tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara
keseluruhan.
2.
Memberikan pendidikan moral secara langsung, yakni
pendidikan moral dengan pendidikan pada nilai dan juga sifat selam jangka waktu
tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam
kurikulum.
3.
Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan
klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang
berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan
hidup mereka dan apa yang berharga untuk di cari.
4.
Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik
untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi
penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
5.
Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan
melalui pendekatan spiritual paranting,seperti:
a.
Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui
doa setiap hari.
b.
Menanyakan kepada anak bagaimana
tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
c.
Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
6.
Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam
jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri
mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu
sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun
(Desmita,2009:287).
2.6
Proses Perkembangan
Moral dan Spiritual Peserta Didik
A. Poses Perkembangan Moral Peserta Didik
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum
menurut Kohlbergdalam Desmita (2009:261) terdapat 3 tingkat dan 6 tahap
diantaranya sebagai berikut :
Tingkatan perkembngan moral peserta didik yaitu :
a.
Perkenvensional moralitas. Pada level ini anak
mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan,
yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan, ( hukuman). Anak tidak melanggar
aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.
b.
Konvensional.
Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
c.
Pasca konvensional. Pada level ini aturan dan
institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi di
perlukan sebagai subjek. Anak mentaati aturan untuk menghindari hukuman kata
hati.
Tahap
perkembangan moral peserta didik yaitu :
1.
Orientasi kepatuhan dan hukuman pemahaman anak
tentang baik dan buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan
adalah untuk menghindari hukuman dari otoritas.
2.
Orientasi
hedonistic instrumental suatu perbuatan dinilai baik apabila berfungsi sebagai instrumen
untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan diri.
3.
Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan
pada orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila menyenangkan bagi orang
lain.
4.
Orientasi keteraturan dan otoritas prilaku yang
dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas, dan memelihara
ketertiban sosial.
5.
Orientasi
kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan lingkungan
sosial. Perbuatan dinilai baik apabila sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
6.
Orientasi kata hati kebenaran ditemukan oleh kata
hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang bersifat abstrak dan
penghormatan terhadap martabat manusia
B. Proses Perkembangan Spiritual Peserta Didik
Teori Fowler dalam Desmita (2009:279) mengusulkan
tahap perkembangan spiritual dan keyakinan dapat berkembang hanya dalam lingkup
perkembangan intlektual dan emosional yang dicapai oleh seseorang. Dan ketujuh
tahap perkembangan agama itu adalah :
1.
Tahap prima faith. Tahap keprcayaan ini
terjadi pada usia 0-2 tahun yang ditandai dengan rasa percaya dan setia anak
pada pengasuhnya. Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman relasi mutual. Berupa
saling memberi dan menerima yang diritualisasikan dalam interaksi antara
anak dan pengasuhnya.
2.
Tahap intuitive-projective, yang berlangsung
antara usia 2-7 tahun. pada tahap ini kepercayaan anak bersifat peniruan,
karena kepercayaan yang dimilikinya masih merupakan gabungan hasil pengajaran
dan contoh-contoh signivikan dari orang dewasa, anak kemudian berhasil merangsang,
membentuk, menyalurkan dan mengarahkan perhatian seponten serta gambaran
intuitif dan proyektifnya pafda ilahi.
3.
Tahap mythic-literal faith, Dimulai dari
usia 7-11 tahun. pada tahap ini, sesuai dengan tahap kongnitifnya, anak secara
sistematis mulai mengambil makna dari tradisi masyarakatnya. Gambaran tentang
tuhan diibaratkan sebagai seorang pribadi, orangtua atau penguasa, yang
bertindak dengan sikap memerhatikan secara konsekuen, tegas dan jika perlu
tegas.
4.
Tahap synthetic-conventional faith, yang
terjadi pada usia 12-akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Kepercayaan
remaja pada tahap ini ditandai dengan kesadaran tentang simbolisme dan memiliki
lebih dari satu cara untuk mengetahui kebenaran. Sistem kepercayaan remaja
mencerminkan pola kepercayaan masyarakat pada umumnya, namun kesadaran
kritisnya sesuai dengan tahap operasional formal, sehingga menjadikan remaja
melakukan kritik atas ajaran-ajaran yang diberikan oleh lembaga keagamaan resmi
kepadanya. Pada tahap ini, remaja juga mulai mencapai pengalaman bersatu dengan
yang transenden melalui symbol dan upacara keagamaan yang dianggap sacral.
Symbol-simbol identik kedalaman arti itu sendiri. Allah dipandang sebagai
“pribadi lain” yang berperan penting dalam kehidupan mereka. Lebih dari itu,
Allah dipandang sebagai sahabat yang paling intim, yang tanpa syarat.
Selanjutnya muncul pengakuan bahwa allah lebih dekat dengan dirinya sendiri.
Kesadaran ini kemudian memunculkan pengakuan rasa komitmen dalam diri remaja
terhadap sang khalik
5.
Tahap individuative- reflective faith, yang
terjadi pada usia 19 tahun atau pada masa dewasa awal, pada tahap in8i mulai
muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual terhadap kepercayaan
tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam
kepercayaan seseorang. Menurut Fowler dalam Desmita (2009:280) pada tahap ini
ditandai dengan;
a.
Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan
dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap
asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.
Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal
dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih
antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas
diri.
6.
Tahap Conjunctive-faith, disebut juga paradoxical-consolidation
faith, yang dimulai pada usia 30 tahun sampai masa dewasa akhir. Tahap ini
ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan
keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan
yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan
dan pembatasan seseorang.
7.
Tahap
universalizing faith, yang berkembang pada usia lanjut. Perkembangan agama
pada masa ini ditandai dengan munculnya sisitem kepercayaan transcendental
untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan
pengosongan diri. Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai
paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal.
Dalam proses pencarian kebenara ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran
dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan
universal yang paling lua.
BAB III
PENUTUP
3.2 KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan
moral merupakan perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konfensi mengenai
apa yang yang seharusnya dilakukan okleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain dan perkembangan spiritual adalah jiwa seorang manusia memiliki
semangat dan memiliki kepercayaan yang dalam terhadap diiri sendiri, orang
lain, tuhan dan alam, yang terjadi karena pengalaman dan kesadaran dalam
kehidupan diatas diri seseorang. Dan proses perkembangan moral terjdi secara
bertahap yaitu, Orientasi kepatuhan dan hukuman,Orientasi hedonistic
instrumental suatu perbuatan, Orientasi anak yang baik tindakan berorientasikan
pada orang lain,Orientasi keteraturan dan otoritas prilaku yang dinilai baik,Orientasi
kontrol sosial legalistik ada semacam perjanjian antara dirinya dan
lingkungan,Orientasi kata hati kebenaran ditemukan oleh kata hati. Dan tahapan
moralitas yaitu, priml faith atau kepercayaan terpenting, intuitive-projective
atau berdasarkan sifat proyeksi, mythic-literal faith atau mengartikan
karakter kepercayaan, synthetic-conventional faith atau meniru
kepercayaan adat, individuative- reflective faith atau individu dalam
membayangkan kepercayaan. Conjunctive-faith atau kesadaran akan keterbatasan.
Dan universalizing faith atau perasaan ketuhanan.
3.2 ANALISIS
Berdasarkan latar belakang atau
permasalahan, serta kesimpulan di atas maka penulis dapat menganalisiskan
bahwa perkembangan moral merupakan perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konfensi mengenai apa yang yang seharusnya dilakukan okleh
manusia dalam interaksinya dengan orang lain (desmita.2009:258). Hal ini juga
sesuai dengan pendapat piaget dalam Desmita (2009:260) bahwa, hakikat moralitas
yaitu kecenderungan untuk menerima sistem peraturan. Dan perkembangan spiritual merupakan kecerdasan spiritual sebagai
bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang beragama belum tentu
memiliki kecerdasan spiritual. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang
humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap
hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan
penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna "spirituality"
(keruhanian) disini tidak selalu berarti agama atau bertuhan. Sehingga dari
kuti-kutipan diatas penulis memilih judul proses perkembangan moral dan
spiritual peserta didik karena, proses merupakan suatu hal yang sangat penting,
dimana sangat menentukan hasil atau pencaapain puncak dan akhirnya.
3.3 SARAN
Bertitik tolak dari penulisan makalah ini, penulis merasa perlu memberikan
saran sebagai berikut:
1.
Seseorang dapat
dikatakan bermoral,memiliki nialai yang piritual apabila tingkah laku orang tersebut sesuai
dengan nilai-nilai moral ,agama yang dijunjung
tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai peserta didik adalah mempelajari
apa yang diharapkan
oleh kelompoknya.
DAFTAR PUSTAKA
http://keripikkampus.blogspot.com/makalah-perkembangan-peserta-dididk.html. 29-12-2015. 12.47 WIB
http://tulisanechamdan.blogspot.com/2012/02/perkembangan-moral-dan-spiritual.html. 29-12-2015. 16.38 WIB
http://sdnpadasuka4kotabandung.blogspot.com/2012/02/perkembangan-moral-peserta-didik-usia.html. 02-01-2016. 13.43WIB
http://abyfarhan7.blogspot.com/2012/01/karakteristik-perkembangan-moral.html. 02-01-2016. 13.56 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar